Kamis, 24 Maret 2011

PENGENALAN HASIL TEKNOLOGI BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL (BATAN)

PENGENALAN HASIL TEKNOLOGI BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL (BATAN)


 













DISUSUN OLEH:
WIDA SALUPI




JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
mhtml:file://D:\KULIAH\SEMESTER%204\EKOLOGI\21%20APRIL\BATAN\Alumni%20SMU%20Muhammadiyah%201%20Klaten%20PENDETEKSI%20KANKER%20BUATAN%20BATAN.mht!https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh-e15vnKnEnuVsJP4mNbdGhTse42Ve4RyUiRvVkosUyipp_jaamW_2LuoMwUTDW3Rlr37lUXjnuRyZWmLlPWiODL87Fn6ZfBLcUPR86lYn86KAYy4sbLXCd9yb8xjFlpa2hB9xnBLeVmU/s400/kitRIA.png
Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) sejak 2004 mengembangkan teknologi pencacah Radioimmunoassay (RIA) yang bisa digunakan sebagai alat pendeteksi dini kanker. Melalui sampel darah atau urine, pencacah RIA juga dapat mendeteksi secara dini jenis penyakit lain seperti hepatitis, ginjal dan diabetes melitus. Untuk mendeteksi penyakit tersebut dibutuhkan kit RIA, alat ini sudah direkaysa oleh Riswal Nafi Siregar dari Pusat Rekayasa Perangkat Nuklir BATAN.
Kit RIA itu semacam data acuan jenis penyakit yang ingin dideteksi secara dini oleh alat pencacah RIA. Pusat Radioisotop dan Radiofarmaka (PRR) BATAN saat ini berhasil mengembangkan kit RIA penyakit kanker dan hepatitis, dua kategori jenis penyakit paling berbahaya. Dengan satu sampel berupa urine atau darah dalam waktu hanya satu menit sudah dapat dicacah dengan pencacah RIA, kemudian hasilnya berupa kurva yang masuk menjadi data komputer dan dapat segera dianalisis dengan acuan kit RIA.
Produksi alat pencacah RIA cukup murah, hanya sekitar 60 juta rupiah. Di berbagai rumah sakit ternama, alat semacam ini sudah dimiliki dengan harga cukup mahal yang diimpor dengan harga sampai 300 juta rupiah. Selain harganya alatnya mahal, biaya operasionalnya juga mahal sehingga pasien enggan untuk mendeteksi secara dini kemungkinan penyakit kanker. Itulah sebabnya banyak pengidap kanker yang mengetahui dirinya berpenyakit dan berobat setelah mencapai stadium tiga atau empat sehingga sulit disembuhkan.
Biaya pemeriksaan dini dengan alat yang diciptakan oleh BATAN ini cukup murah yaitu berkisar antara 100 ribu sampai 300 ribu rupiah. Sebuah perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saat ini telah menjajaki kerjasama produksi massal teknologi pencacah RIA BATAN ini.
(sumber: Kompas)

BATAN Sudah Bisa Mengolah Limbah Nuklir

Rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Semenajung Muria Jawa Tengah tahun 2016 menimbulkan kekwatiran banyak pihak. Salah satu yang menjadi pusat perhatian adalah soal dampak limbah yang dihasilkan dari reaktor nuklir.
Persoalan ini ternyata telah ditangani oleh Sigit, peneliti Badan Peneliti Tenaga Nuklir (BATAN), Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir (PTBN) Serpong yang hari ini (20/4) dikukuhkan sebagai profesor riset di Gedung BATAN, Jakarta. Proses daur ulang limbah tersebut dibacakan sebagai orasi ilmiah dengan judul Proses Kering Daur Ulang Bahan Bakar Nuklir dan Prospeknya di Indonesia."Daur ulang bahan bakar nuklir adalah suatu proses menggunakan kembali bahan bakar nuklir uranium dan plutonium yang diperoleh dari recovery bahan bakar bekas ke dalam reaktor sebagai tambahan produksi energi," kata Sigit.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa daur ulang yang dilakukan pada kondisi kering, diartikan tidak menggunakan pelarut organik dan fase cair. Sedangkan olah bahan bakar nuklir itu sendiri adalah proses pemungutan kembali uranium dan plutonium dari bahan bakar bekas di mana kelongsong, hasil fisi, transuranium dan bahan terkontaminasi lainnya menjadi limbah radiaktif aktifitas tinggi.
Pemisahan uranium dan plutonium sangat sensitif karena plutonium merupakan bahan untuk membuat sengaja nuklir. "Indonesia tidak melakukan hal ini karena telah menandatangani perjanjian non proliferasi, di mana iptek digunakan hanya untuk maksud damai, bukan untuk persenjataan," ungkap Sigit.
Dengan pengukuhan ini Sigit yang menjadi orang 262 dalam Komunitas Peneliti Nasional dan Professor Peneliti ke-40 di BATAN. Dua peneliti BATAN lain yang juga dikukuhkan sebagai Profesor Riset adalah Sugiarto untuk Bidang Polimerisasi Radiasi sebagai orang ke-260 dan 38 dan Surian Pinem pada Bidang Fisika Reaktor Nuklir sebagai orang ke-261 dan 39. Mereka dikukuhkan oleh Kepala LIPI selaku Ketua Majelis Pengukuhan Profesor Riset Umar Anggoro Jeni.
sumber KOMPAS.com -
Senin, 20 April 2009 | 19:15 WIB

 Pupuk Radiasi Nuklir Tingkatkan Produktivitas Pertanian

Pupuk hayati (biofertilizer) hasil radiasi nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) bernama Azora terbukti mampu meningkatkan produktivitas pertanian. "Pupuk hayati Batan ini memacu pertumbuhan tanaman seperti membuat akar dan daun lebih banyak, meningkatkan hasil, memperbaiki kualitas menjadi lebih menarik dan bersih, serta mengurangi pemakaian pupuk," kata Kepala Batan Dr. Hudi Hastowo di sela Forum for Nuclear Cooperation in Asia (FNCA) yang dihadiri perwakilan dari sembilan negara di Jakarta, Senin (23/2).
Dikatakan Hudi, penggunaan pupuk saat ini semakin meningkat seiring dengan kebutuhan pangan dan pemanfaatan lahan, ditambah lagi kecenderungan petani terus meningkatkan penggunaan pupuk untuk mendapatkan hasil yang makin melimpah. Dilaporkan FAO telah terjadi kenaikan penggunaan pupuk buatan di berbagai negara Asia Tenggara dari lima juta ton pada 1967 menjadi sembilan kali lipat (45 juta ton) 30 tahun kemudian. "Ini menyebabkan pupuk sering kali langka, khususnya karena bahan baku pupuk berupa nitrogen juga dipengaruhi pasokan dan harga gas," katanya.
Di sisi lain, ujarnya, penggunaan pupuk kimia ini dapat berakibat negatif susulan terhadap lingkungan, sehingga sudah seharusnya bisa disubtitusi dengan pupuk hayati (biofertilizer) yang berbasis mikroba. "BATAN telah meriset dan memperoleh mikroba yang membuat tanah lebih mampu menangkap nitrogen dan membuatnya menjadi subur. Mikroba bernama Azospherelium ini disterilisasi dengan radiasi," tambah Kepala Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi BATAN Dr Zainal Abidin.
Ia mengatakan radiasi dengan sinar gamma dari Cobalt 60 merupakan teknik sterilisasi bahan pembawa pupuk hayati yang telah teruji efektif dan efisien dibanding dengan teknik autoclave (sterilisasi panas) yang biasa dilakukan.

"Kami sudah menggunakannya pada jagung serta tanaman hortikultura seperti salada, kubis, brokoli, sawi, atau cabe," katanya.
Proyek Biofertilizer merupakan salah satu proyek FNCA, forum kerjasama nuklir di Asia yang menekankan pemanfaatan teknik nuklir untuk pengembangan pupuk hayati untuk mengatasi ketahanan pangan sekaligus perlindungan lingkungan. Hasil proyek yang dimulai sejak 2001 ini antara lain berupa sejumlah isolat unggul pupuk hayati dan keberhasilannya meningkatkan komoditas pertanian di negara anggota. WAH

Sumber: kompas.com http://sains.kompas.com/read/xml/2009/02/23/1744399/Pupuk.Radiasi.Nuklir.Tingkatkan.Produktivitas.Pertanian , Senin, 23 Februari 2009 | 17:44 WIB


Batan Hasilkan Makanan Siap Saji Hasil Radiasi

Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) sedang mengajukan uji toksisitas serta mendapatkan izin (clearance) dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) berbagai jenis makanan siap saji hasil radiasi. "Makanan siap saji hasil radiasi ini ini misalnya dodol, nugget, rendang, dan lain-lain sehingga menjadi sangat awet dan baik untuk berbagai keperluan," kata Kepala Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi Batan, Zainal Abidin di Jakarta, Selasa. Ia mengatakan makanan siap saji yang mampu bertahan sampai berbulan-bulan dibutuhkan untuk berbagai keperluan militer, bantuan bencana alam, penjualan di supermarket, ekspor usaha kecil-menengah, hingga untuk keperluan katering di angkutan udara dan laut.
Sebelumnya Batan memang sudah merilis berbagai bahan pangan hasil radiasi, seperti rempah-rempah, jamu, ikan asin, hingga udang beku dan telah dimanfaatkan di pasaran. "Sebenarnya Batan hanya memiliki dua peralatan irradiator untuk riset, namun di sela keperluan riset, Batan juga menyediakannya bagi masyarakat dan usaha kecil-menengah yang membutuhkan pengawetan dengan radiasi," katanya.
Pihaknya saat ini juga sedang melakukan penjajagan radiasi buah-buahan asli Indonesia seperti mangga dan manggis untuk keperluan ekspor bersama Deptan. Dengan radiasi, lanjutnya, makanan menjadi awet, misalnya, ikan pepes mampu bertahan sampai setahun. Batan pernah mengirim bantuan ikan pepes hasil radiasi ini untuk para korban bencana tsunami Aceh.
Dengan radiasi makanan dapat dibebaskan dari mikroorganisme tanpa mengakibatkan perubahan warna, rasa dan struktur kimiawinya, bahkan tidak meninggalkan residu bahan kimia pada bahan yang diawetkan. "Kelebihan teknik pengawetan dengan radiasi dibandingkan dengan teknik lainnya yakni dapat membunuh mikroba pada seluruh lapisan bahan yang diawetkan. Misalnya bakteri patogen seperti salmonella yang mengkontaminasi produk perikanan segar tak bisa dihilangkan secara sempurna dengan teknik lain kecuali dengan radiasi," katanya.
Ia juga membantah makanan hasil radiasi berbahaya, karena jenis radiasi yang digunakan untuk pengawetan makanan bersifat gelombang elektromagnetik yang tak menyebabkan makanan tersebut menjadi tercemar radioaktif.(*)
ANTARA News
March 04, 2008, 01:59:54 AM




Tidak ada komentar:

Posting Komentar