BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu ciri makhluk hidup menurut pengertian biologi adalah kemampuan bereproduksi atau kemampuan untuk memperbanyak diri. Individu suatu makhluk hidup dapat terdiri atas satu sel (misalnya bakteri) maupun terdiri atas banyak sel (misalnya manusia, tumbuhan, dan hewan). Setiap individu yang bersel tunggal maupun setiap individu yang bersel banyak dapat bereproduksi karena sel-sel penyusunnya dapat membelah diri. Suatu organisme tidak akan dapat bereproduksi kalau sel penyusunnya tidak dapat membelah. Pembelahan sel ini dinamakan reproduksi sel karena bila sel membelah maka jumlah sel bertambah banyak. Satu sel dapat membelah menjadi dua sel. Satu sel juga dapat membelah menjadi empat sel. Jadi pembelahan sel merupakan dasar reproduksi bagi organisme bersel tunggal maupun organisme bersel banyak.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses pertumbuhan dan pembelahan mikroba ?
2. Faktor apa saja yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba ?
C. Tujuan
1. Menjelaskan proses pertumbuhan dan pembelahan mikroba.
2. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba.
D. Manfaat
1. Mengatahui proses pertumbuhan dan pembelahan mikroba.
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERTUMBUHAN
Pertumbuhan adalah meningkatnya jumlah kuantitas massa sel dengan cara terbentuknya sel-sel baru. Terjadinya proses pertumbuhan tergantung dari kemampuan sel dalam membentuk protoplasma baru dari nutrient yang tersedia di lingkungan. Pada setiap pertumbuhan bakteri dalam suatu medium terdapat fase-fase atau tahapan pertumbuhan, tahapan tersebut antara lain :
1. Fase lag (fase adaptasi)
Fase lag adalah kondisi dimana bakteri baru saja di inokulasikan atau dibiakan dalam medium. Pada fase ini bakteri belum melakukan pembelahan, tetapi terjadi peningkatan massa volume, sintesis enzim, protein, RNA dan peningkatan aktifitas metabolik. Pada fase tersebut bakteri lebih banyak melakukan adaptasi dengan lingkungan.
Pada fase ini tidak ada pertumbuhan populasi karena sel mengalami perubahan komposisi kimiawi dan ukuran serta bertambahnya substansi intraseluler sehingga siap untuk membelah diri.
2. Fase eksponensial (fase perbanyakan)
Fase eksponensial adalah fase dimana bakteri melakukan pembelahan secara biner dengan jumlah kelipatan (eksponensial). Pada fase ini, terjadi lonjakan peningkatan jumlah biomassa sel, sehingga bisa diketahui seberapa besar terjadi pertumbuhan secara optimal dan tingkatan produktifitas biomassa sel.
3. Fase stasioner (fase statis)
Fase stasioner adalah fase dimana bakteri sudah tidak melakukan pembelahan lagi. Ada 3 penyebab utama yang menyebabkan fase tersebut, yaitu 1. ketidaktersediaan nutrient, 2. penumpukan metabolit penghambat dan produk akhir, 3. kekurangan ruang gerak. Pada fase stasioner juga disebut “lack of biological space”.
4. Fase kematian
Pada fase kematian akan terjadi pengurangan jumlah sel bakteri yang hidup. Sel menjadi mati akibat penumpukan racun dan habisnya nutrisi, menyebabkan jumlah sel yang mati lebih banyak sehingga mengalami penurunan jumlah sel secara eksponensial.

Gambar 1 Fase dalam pertumbuhan bakteri pada kultur curah (batch culture); 1 fase adaptasi; 2 fase perbanyakan; 3 fase statis; 4 fase kematian.
PENGUKURAN PERTUMBUHAN
Pertumbuhan mikrobia adalah peningkatan jumlah atau massa sel, bukan peningkatan ukuran sel. Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengukur pertumbuhan mikroba. Perhitungan mikroba dapat dilakukan dengan dua cara yaitu perhitungan langsung dan tidak langsung.
1. Perhitungan langsung meliputi :
a. Metode turbidimetri
Pada metode ini jumlah sel bakteri dapat dihitung dengan cara mengetahui kekeruhan (turbiditas) kultur. Apabila suatu kultur semakin keruh, maka jumlah selnya semakin banyak.
Prinsip dasar metode turbidimetri adalah jika cahaya mengenai sel, maka sebagian cahaya diserap dan sebagian cahaya diteruskan. Jumlah cahaya yang diserap proposional (berbanding lurus) dengan Jumlah cahaya yang diserap proposional (berbanding lurus) dengan jumlah sel bakteri. Atau jumlah cahaya yang diteruskan berbanding terbalik dengan jumlah sel bakteri. Semakin banyak jumlah sel, semakin sedikit cahaya yang diteruskan.
Hukum Beer-Lambert menyatakan bahwa fraksi cahaya yang diteruskan (I/I0) akan menurun seiring dengan log-10 densitas sel (x) atau I/I0= 10-xl. Di mana l adalah lebar wadah atau kuvet. Jika dikali log10, maka log I/I0 = -xl. Karena log I/I0 = OD=absorbansi cahaya, maka diperoleh persamaan OD=A= xl.





Gambar 2 Perhitungan sel dengan metode turbidimetri. Suspensi mikroba menerima cahaya dari lampu. Ketika cahaya mengenai sel mikroba, cahaya diserap (garis panah membelok) dan jika cahaya tidak mengenai sel mikroba , maka cahaya diteruskan (garis panah lurus).
b. Metode Total count
Metode Total count memerlukan mikroskop dan wadah yang diketahui volumenya. Jika setetes kultur dimasukkan ke dalam wadah (misalnya hemasitometer) yang telah diketahui volumenya, maka jumlah sel dapat dihitung.

Gambar 3 Hemasitometer yang dapat digunakan untuk perhitungan total count.
c. Metode berat kering
Metode ini relatif mudah dilakukan yaitu kultur disaring atau disentrifugasi. Kemudian bagian yang tersaring atau yang mengendap hasil sentrifugasi dikeringkan. Kelemahan dari metode ini juga tidak dapat membedakan sel yang hidup dan yang mati. Akan tetapi, keterbatasan itu tidak menutup manfaat metode ini dalam hal mengukur efisiensi fermentasi karena pertumbuhan diukur dengan satuan berat, sehingga dapat diperhitungkan dengan parameter konsumsi substrat dan produksi senyawa yang diinginkan.
2. Perhitungan tidak langsung yaitu viable count
Metode viable count sering disebut dengan metode total plate count. Pada metode ini dilakukan dengan cara kultur diencerkan sampai batas yang diinginkan. Kultur encer ditumbuhkan kembali pada media, sehingga diharapkan setiap sel tumbuh menjadi 1 koloni beberapa saat berikutnya biasanya 12-4 jam. Akan tetapi, cara ini memiliki keterbatasan, yaitu jumlah sel terhitung biasanya lebih kecil dari sebenarnya (kemungkinan besar 1 koloni dapat berasal dari lebih dari 2 sel) dan tidak dapat diaplikasikan pada bakteri yang tumbuh lambat.
Pada metode ini yang perlu diperhatikan adalah jumlah sel bakteri harus mendekati kelipatan 10 pada setiap pengencerannya. Jika tidak, maka perhitungan dianggap gagal.





Gambar 4 Inokulasi cawan petri dari seri pengenceran


gambar

Gambar 5 Setelah inkubasi, hitung koloni pada cawan yang memiliki jumlah 25-250 koloni (CFU)
PERTUMBUHAN DIAUXIC
Pertumbuhan Diauxic adalah pertumbuhan menjadi dua fase terpisah yang disebabkan karena suatu sumber karbon lebih disukai dari pada yang lain sehingga terjadi kelambatan (lag) sementara diantaranya.
Pertumbuhan diauxic terjadi ketika bakteri dihadapkan pada dua sumber karbon yang berbeda dan mampu menggunakan kedua sumber karbon tersebut. Misalnya E. coli ditumbuhkan pada media yang mengandung glukosa dan laktosa. E. coli memanfaatkan glukosa, karena sel telah memiliki enzim pendegradasi glukosa (enzim struktural). Glukosa sendiri menghambat sintesis enzim pemecah laktosa. Ketika glukosa habis, sel masuk fase statis dan menyintesis enzim yang mampu menghidrolisis laktosa menjadi glukosa dan galaktosa. Ketika glukosa tersedia di media, sel memasuki fase perbanyakan kembali.

Gambar 6 Pertumbuhan diauxic pada E. coli ketika dihadapkan pada 2 sumber karbon, yaitu glukosa dan laktosa.
PRINSIP PERTUMBUHAN BAKTERI
Istilah pertumbuhan bakteri lebih mengacu kepada pertambahan jumlah sel bukan mengacu kepada perkembangan individu organisme sel. Bakteri memiliki kemampuan untuk menggandakan diri secara eksponensial dikarenakan sistem reproduksinya adalah pembelahan biner melintang, dimana tiap sel membelah diri menjadi dua sel. Selang waktiu yang dibutuhkan sel untuk membelah diri disebut dengan waktu generasi.
Tiap spesies bakteri memiliki waktu generasi yang berbeda-beda, seperti Escherichia coli, bakteri umum yang dijumpai di saluran pencernaan dan di tempat lain, memiliki waktu generasi 15-20 menit. Hal ini artinya bakteri E. coli dalam waktu 15-20 menit mampu menggandakan selnya menjadi dua kali lipat. Misalnya pada suatu tempat terdapat satu sel bakteri E. coli, maka ilustrasinya dapat berlangsung sebagai berikut :
Tabel 1 Contoh Pembelahan biner Bakteri tiap 15 menit
| 0’ | 15’ | 30’ | 45’ | 60’ | 75’ | 90’ | 105’ | 120’ | 135’ |
| 1 sel | 2 sel | 4 sel | 8 sel | 16 sel | 32 sel | 64 sel | 128 sel | 256 sel | 512 sel |
| 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 |
Hal ini menunjukkan hubungan antara pertambahan sel dengan waktu adalah berbentuk geometrik eksponensial dengan rumus 2n. Jadi, bakteri E. coli dalam waktu 10 jam berkembang dari satu sel menjadi 1,09×1012 sel atau lebih dari 1 triliun sel.
B. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN MIKROBA
Pertumbuhan mikroba sangat dipengaruhi kondisi lingkungan. Perubahan kondisi lingkungan dapat menghambat pertumbuhan bahkan dapat membunuh pertumbuhan mikroba. Parameter lingkungan yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba adalah suhu, ketersediaan oksigen, konsentrasi ion hidrogen (pH), dan konsentrasi solut.
1. Suhu
Setiap mikroba memiliki kisaran suhu yang berbeda bagi pertumbuhannya. Terdapat pula mikroba yang mampu hidup di bawah titik beku (0°C) seperti di kutub utara dan selatan sampai di atas titik didih (100°C) seperti di sekitar kawah gunung berapi. Sebagian besar mikroba mampu tumbuh di kisaran suhu 20—30°C. Di antara kisaran suhu terendah dan tertinggi terdapat suhu optimal. Suhu optimal merupakan suhu pertumbuhan yang menghasilkan laju maksimal pertumbuhan mikroba. Suhu optimum pertumbuhan mikroba selalu lebih rendah beberapa derajat dari suhu maksimal pertumbuhan.

Gambar 7 Grafik laju pertumbuhan mikroba yang mencapai maksimal pada suhu optimal dan minimal pada suhu minimum dan maksimum.
Menurut beberapa ilmuwan kisaran suhu pertumbuhan mikroba dikelompokkan menjadi 3, yaitu:
a. Psikrofili
Bakteri yang menggemari kesejukan suhu yang berkisar antara 10—15°C.
b. Mesofili
Bakteri yang suhu optimumnya berkisar antara 25—45°C. Kebanyakan bakteri hidup pada suhu ini.
c. Thermofili
Bakteri yang menggemari suhu yang berkisar antara 45—75°C.
Tabel 2 Kisaran suhu pertumbuhan berbagai bakteri
| Bakteri | Habitat | Min | Optimal | Max |
| Listeria monocytogenes Vibrio marinus Stenotrophomonas maltophilia Thiobacillus novellus Staphylococcus aureus Escherichia coli Clostridium perfringens Streptococcus pyogenes Anoxybacillus flavithermus Thermus aquaticus Methanococcus jannaschii Sulfolobus acidocaldarius Pyrobacterium brockii Methanopyrus kandleri | Hewan, tanah, vegetasi akar, air Laut terbuka Tanah Tempat yang terdapat sulfur tereduksi Kulit Saluran pencernaan Tanah, makanan Membran mukosa Manure piles (warm) Mata air panas Hydrothermal vent* Mata air sulfur (panas & sulfur tereduksi) Hydrothermal vent* Hydrothermal vent* | 1 4 4 5 10 10 15 20 30 40 60 70 80 85 | 30-37 15 35 25-30 30-37 37 45 37 60 70-72 85 75-85 102-105 100 | 45 30 41 42 45 45 55 40 72 79 90 90 115 110 |
* Terdapat pada laut dalam dengan gradien suhu tinggi antara 4—300°C.


![]() |
Gambar 8 Suhu pertumbuhan bakteri.
2. Ketersediaan oksigen
Dalam pertumbuhannya kebanyakan mikroba memerlukan oksigen. Akan tetapi terdapat mikroba yang tidak memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya. Mikroba yang memerlukan (mutlak) oksigen bagi pertumbuhannya disebut aerob obligat. Mikroba yang tidak memerlukan (mutlak) oksigen bagi pertumbuhannya disebut anaerob obligat. Mikroba aerob yang dapat tumbuh tanpa oksigen disebut fakultatif anaerob. Mikroba yang dapat tumbuh dengan atau tanpa adanya oksigen (meskipun dia tidak memerlukan oksigen) disebut aerotoleran anaerob. Sedangkan mikroba yang hanya dapat tumbuh di lingkungan dengan kandungan oksigen rendah ( di bawah kandungan oksigen atmosfer) disebut mikroaerofil.


A B C D E
Gambar 9 Macam mikroba berdasarkan kebutuhan oksigen.
Keterangan :
A. Aerob obligat
B. Fakultatif anaerob
C. Anaerob obligat
D. Aerotoleran anaerob
E. Mikroaerofil
3. Konsentrasi ion hidrogen (pH)
Mikroba dapat ditemukan disetiap lingkungan berpH 1—14, tetapi sebagian besar ditemukan pada lingkungan berpH 7 (netral) ). Berdasarkan ketergantungan terhadap pH, maka mikroba dapat dikelompokkan menjadi 5 kelompok yaitu asidofil, netrofil, alaklifil, alaklifil ekstrim, dan asidofil ekstrim. Bakteri Thiobacillus dan Sulfolobus merupakan mikroba asidofil yang mampu hidup pada lingkungan berpH 2—5, sedangkan mikroba patogen Streptococcus merupakan mikroba netrofil dengan kisaran pertumbuhan pada lingkungan berpH 5—7. Mikroba alaklifil lebih memilih hidup di lingkungan berpH 8—11, yaitu di danau bersoda dan tanah berkarbonat.

Gambar 10 Pengelompokan mikroba berdasarkan nilai pH pertumbuhannya.
4. Konsentrasi solut
Jika semakin tinggi konsentrasi solut, maka kecil aktivitas air. Meningkatnya konsentrasi solut berpengaruh pada sel. Sel akan mengeluarkan air untuk menetralisir lingkungan yang pekat solut, sehingga sel mengalami plasmolisis. Sebaliknya jika konsentrasi solut rendah, maka air akan masuk ke dalam sel, sehingga sel berpotensi pecah. Akan tetapi mikroba memiliki membran sel dan dinding sel yang mampu menahan tekanan osmotik akibat proses osmosis. Semakin pekat konsentrasi solut juga akan menyulitkan kerja enzim, karena kerja enzim terhadao solut memerlukan sejumlah air. Akibatnya enzim tidak bekerja dengan baik.
Mikroba yang memerlukan konsentrasi garam tinggi dalam lingkungan disebut halofil. Halofil lemah, moderat, dan ekstrim memerlukan konsentrasi garam masing-masing sebesar 1—6%, 6—15%, dan 15—30%. Mikroba halotoleran masih dapat tumbuh sampai kadar garam 15% tetapi tumbuh baik jika tidak ada garam. Mikroba yang mampu tumbuh pada lingkungan berkadar gula tinggi disebut osmofil. Mikroba yang mampu tumbuh di lingkungan kering disebut xerofil.
C. PEMBELAHAN
Setiap sel dapat memperbanyak diri membentuk sel-sel yang baru melalui proses pembelahan. Pada makhluk hidup bersel tunggal, pembelahan sel tersebut merupakan cara untuk berkembangbiak. Misalnya pada bakteri atau protozoa, terjadi pembelahan sel dari satu sel menjadi dua, empat, delapan dan seterusnya. Pada organisme uniseluler terjadi proses pembelahan secara langsung yang artinya pembelahan itu tidak melalui tahapan-tahapan pembelahan. Proses pembelahan sel pada sel prokariotik berbeda dengan pembelahan sel pada eukariotik. Pada prokariotik pembelahan sel berlangsung secara sederhana yang meliputi proses pertumbuhan sel, duplikasi materi genetic, pembagian kromosom, dan pembelahan sitoplasma yang didahului dengan pembentukan dinding sel baru. Proses pembelahan yang demikian dinamakan amitosis, amitosis adalah pembelahan sel secara langsung tanpa melibatkan kromosom, contohnya pada sel bakteri.
Pembelahan biner termasuk dalam pembelahan sel secara langsung (amitosis). Pembelahan biner adalah pembelahan yang menghasilkan 2 sel sama besar. Sedangkan yang menghasilkan sel anakan yang tidak sama besar disebut dengan pertunasan (budding).
Proses pembelahan biner adalah sebagai berikut :
1. Pembelahan biner bakteri dimulai dengan menempelnya bahan genetik pada salah satu sisi membran dari sel dewasa.
2. Kemudian diikuti dengan proses sintesis DNA dan replikasi.
3. Setelah proses replikasi selesai maka salah satu sisi dari membran akan membuat lekukan dan akhirnya diikuti dengan proses pemanjangan sel dan pembelahan sel menjadi dua bagian yang memiliki bahan genetika yang sama.

Gambar 11 Pembelahan biner sel bakteri Staphylococcus aureus




Gambar 12 Pembelahan biner.
Selain pada bakteri, pembelahan biner juga dijumpai pada organisme eukariot, yaitu pada Protozoa. Pada beberapa protozoa, benang-benang spindel terdapat di dalam inti, tidak dijumpai adanya sentriol. Pembelahan biner dijumpai pada Protozoa, seperti Euglena sp. (Flagellata), Paramaecium sp. (Ciliata), dan Arcella sp.(Sarcodina). Paramaecium sp. memiliki dua macam inti, yaitu makronukleus dan mikronukleus. Makronukleus berhubungan dengan metabolisme, perkembangan, dan karakter fisik sel. Sedangkan mikronukleus berperan dalam transmisi informasi genetik selama pembelahan. Seiring dengan penggentingan sel yang akan membelah, makronukleus memanjang dan mengalami penggentingan sedangkan mikronukleus membelah melalui mitosis. Pada akhirnya, terjadi pembelahan sitoplasma dan terbentuklah dua individu.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pertumbuhan mikroba adalah peningkatan massa atau jumlah sel total (misalnya di dalam suatu biakan). Adapun fase-fase pertumbuhan yaitu fase adaptasi (lag phase), fase perbanyakan (exponential phase), fase statis (stationer phase), dan fase kematian (death phase). Untuk mengetahui pertumbuhan mikroba dilakukan pengukuran pertumbuhan yang meliputi : perhitungan langsung dan tidak langsung. Perhitungan langsung meliputi metode turbidimetri, total count, dan berat kering. Perhitungan tidak langsung yaitu viable count. Pertumbuhan mikroba juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang berubah. Faktor lingkungan tersebut adalah suhu, ketersediaan oksigen, ketersediaan ion hidrogen (pH) dan ketersediaan solut.
Pembelahan adalah proses aseksual yang dipergunakan oleh beberapa mikroorganisme untuk bereproduksi. Pembelahan pada mikroba terjadi secara langsung tanpa melalui tahapan-tahapan pembelahan atau disebut juga pembelahan biner. Pembelahan biner ini menghasilkan dua sel baru yang berukuran sama besar. Apabila menghasilkan dua sel yang tidak sama besar disebut dengan pertunasan (budding). Proses pembelahan biner yaitu kromosom hasil duplikasi awalnya akan menempel pada membrane plasma. Selanjutnya, akan terjadi pertumbuhan antara dua tempat perlekatan kromosom untuk melakukan pemisahan materi inti. Kemudian akan terjadi sitokenesis yang diikuti dengan terbentuknya dinding sel baru hingga dua sel anakan terbentuk.
DAFTAR PUSTAKA
Humphries, John. 1988. Bakteriologi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan.
Pelczar, Michael J. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: UI Press.
Purwoko, Tjahjadi. 2007. Fisiologi Mikroba. Jakarta: Bumi Aksara.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar